Dibalik segala kebencian (baca: naicnebek alages) saya terhadap angkot, tepatnya terhadap supir angkotnya, ternyata angkot menyimpan sejuta cerita... Halah, berlebihan sih, gak nyampe sejuta cerita sebenernya, palingan sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus delapan puluh tiga, atau biasa disingkat dengan 999.983, meskipun sebenernya itu bukan singkatan sih, tapi gak papa lah, mama aja...
Satu hal yang saya sukai dari naik angkot adalahasap rokok yang ada dimana-mana, jadi terasa suasana maskulin dari angkot mendengarkan perbincangan orang lain, terutama ketika perbincangan itu dilakukan cukup keras, jadi saya gak perlu curi-curi dengar... Hehehe... Terkadang dari hal seperti itu, saya jadi tahu bagaimana pendapat orang-orang terhadap kehidupan sehari-hari, terutama orang-orang dari kalangan bawah (secara ekonomi mungkin ya), yang terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita dengarkan dari kehidupan ideal
Sebagai contoh, pada satu hari, saya mendengarkan perbincangan dua orang mengenai menabung di bank... Bagi teman-teman yang mengikuti kelas "Kewirausahaan dan Pengembangan Bisnis" bersama Pak Djoko (apa Joko ya? yang jelas bukan Pak Djoko rektor) pasti sering terdoktrin dengan kata-kata "menabunglah, menabung bukan hanya untuk orang kaya, tapi untuk semua golongan" Dengan kemampuan inferensi dari otak pribadi, saya menangkap bahwa kata menabung disana berarti menabung di bank... Tapi perbincangan dua orang di angkot ini menyadarkan saya, bahwa kita harus agak sedikit kaya supaya bisa menabung di bank... Lepas dari permasalahan riba, dalam sistem perbankan, setiap bulan pada umumnya seorang penabung biasanya mendapatkan tambahan uang (dari bagi hasil atau bunga) serta mendapatkan pengurangan uang (dari biaya administrasi) dan pada umumnya bagi hasil atau bunga yang diperoleh seseorang tergantung pada besarnya tabungan yang ia miliki...
Andai kita senaif itu untuk mengikuti saran Pak Djoko dan hanya memiliki uang tabungan (katakanlah) dibawah seratus ribu rupiah, niscaya kita akan merugi sendiri, karena besarnya administrasi per bulan akan jauh melebihi besar bagi hasil atau bunga yang kita peroleh... Jadi buat apa menabung kalo jumlahnya makin lama makin sedikit??
Kita sering pula mendengar bahwa politik uang, bayar-bayar orang supaya mendukung/memilih suatu calon dalam pemilu itu dilarang... Tapi bagaimana dengan rakyat kecil? Seorang supir angkot, bersama rekannya, mengobrol tentang kekecewaan mereka terhadap Partai Gerin*** yang "hanya" membagi-bagikan kaos untuk suatu acara mereka... Yang paling saya ingat, jelas perkataan si supir... "ah, rugi buang-buang waktu 3 jam cuma dengerin pidato ama musik, kirain bakal dikasi duit lima puluh ribu gitu.. Iklannya banyak gitu, masa bagi-bagi duit aja gabisa"... Ternyata politik uang juga bagian dari "kebutuhan" rakyat kecil loh... Dan ini satu lagi bukti bahwa pemikiran ideal ternyata kadang (ato seringkali) tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan (meski si supir angkot lagi di angkot, angkotnya lagi di jalan raya, bukan di lapangan)
Itu aja dulu deh... Ya ampun tulisan saya serius banget... Gara-gara jadi aspri gini deh obrolan sehari2 :P
Satu hal yang saya sukai dari naik angkot adalah
Sebagai contoh, pada satu hari, saya mendengarkan perbincangan dua orang mengenai menabung di bank... Bagi teman-teman yang mengikuti kelas "Kewirausahaan dan Pengembangan Bisnis" bersama Pak Djoko (apa Joko ya? yang jelas bukan Pak Djoko rektor) pasti sering terdoktrin dengan kata-kata "menabunglah, menabung bukan hanya untuk orang kaya, tapi untuk semua golongan" Dengan kemampuan inferensi dari otak pribadi, saya menangkap bahwa kata menabung disana berarti menabung di bank... Tapi perbincangan dua orang di angkot ini menyadarkan saya, bahwa kita harus agak sedikit kaya supaya bisa menabung di bank... Lepas dari permasalahan riba, dalam sistem perbankan, setiap bulan pada umumnya seorang penabung biasanya mendapatkan tambahan uang (dari bagi hasil atau bunga) serta mendapatkan pengurangan uang (dari biaya administrasi) dan pada umumnya bagi hasil atau bunga yang diperoleh seseorang tergantung pada besarnya tabungan yang ia miliki...
Andai kita senaif itu untuk mengikuti saran Pak Djoko dan hanya memiliki uang tabungan (katakanlah) dibawah seratus ribu rupiah, niscaya kita akan merugi sendiri, karena besarnya administrasi per bulan akan jauh melebihi besar bagi hasil atau bunga yang kita peroleh... Jadi buat apa menabung kalo jumlahnya makin lama makin sedikit??
Kita sering pula mendengar bahwa politik uang, bayar-bayar orang supaya mendukung/memilih suatu calon dalam pemilu itu dilarang... Tapi bagaimana dengan rakyat kecil? Seorang supir angkot, bersama rekannya, mengobrol tentang kekecewaan mereka terhadap Partai Gerin*** yang "hanya" membagi-bagikan kaos untuk suatu acara mereka... Yang paling saya ingat, jelas perkataan si supir... "ah, rugi buang-buang waktu 3 jam cuma dengerin pidato ama musik, kirain bakal dikasi duit lima puluh ribu gitu.. Iklannya banyak gitu, masa bagi-bagi duit aja gabisa"... Ternyata politik uang juga bagian dari "kebutuhan" rakyat kecil loh... Dan ini satu lagi bukti bahwa pemikiran ideal ternyata kadang (ato seringkali) tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan (meski si supir angkot lagi di angkot, angkotnya lagi di jalan raya, bukan di lapangan)
Itu aja dulu deh... Ya ampun tulisan saya serius banget... Gara-gara jadi aspri gini deh obrolan sehari2 :P
No comments:
Post a Comment