Alhamdulillah, 4 hari lagi tepat sebulan sudah saya di sini. Di tanah kelahiran Christiano Cristiano Ronaldo, Luis Figo, Rui Costa, serta Jose Alferez (yang terakhir nama dosen, gak penting banget yaa). Bagaimana perasaannya, well, sejauh ini lumayan, meski kota tempat saya tinggal, yaitu Caparica adalah kota yang bisa dibilang sangat kecil... Sepi banget disini. Bukan cuma orang-orangnya, tapi juga bangunannya, dikit bangeeeet... Kalo menurut saya sih kaya gini deh, bayangkan lagi di jalan tol Cipularang, terus di KM 70an tiba2 ada universitas, maka itu lah universitas tempat saya menimba ilmu, yaitu Universidade Nova de Lisboa (meski universitas ini gak ada di Indonesia sih). Mungkin agak terlalu ekstrim, tapi emang sepi banget daerah universitas ini sepertinya, jauh dari peradaban :D
Oke, langsung cerita dikit deh tentang kehidupan awal saya disini, dan saya mengambil sudut terbalik dari yang biasanya digembor-gemborkan dimedia massa cerita orang-orang yang berkuliah di luar negeri, tentang betapa serunya itu dan lain-lain, saya justru mengambil sisi tidak enaknya.
**DISCLAIMER: isi blog ini tidak bermaksud menakut-nakuti mereka yang berminat berkuliah di luar negeri, jadi jika anda khawatir takut setelah membaca tulisan ini, mending jangan membacanya. Segala efek samping (jika ada) dari isi blog ini tidak ditanggung oleh penulis**
Maka, pada tanggal cantik, 090909 (9 September 2009, red), bersiaplah saya berangkat menuju travel Cipaganti yang terletak di jalan Dipatiukur. Kesedihan pertama sudah muncul, ketika harus berpisah dengan rumah tercinta, dengan kakak pertama dan kakak ipar pertama, serta dengan keponakan kedua, agak basah sedikit mata ini, tapi masih bisa ditahan. Maka sampailah saya (diantar oleh adik, nenek, keponakan pertama, serta orang tua saya), kesedihan kedua, ketika berpisah dengan para pengantar (selain orang tua saya) sampai di travel... Akhirnya saya pun berjalan-jalan, sok-sok melihat-lihat pemandangan di luar, supaya tidak terlihat oleh orang tua saya :D Sampai di bandara sekitar pukul 5.30 sore, segeralah saya check-in dan mengurus bebas fiskal, untuk kemudian keluar lagi, menikmati berbuka di Indonesia terakhir untuk tahun 2009 bersama kedua orang tua saya. Dan kesedihan saya tidak bisa terbendung ketika akhirnya masuk lagi, berpisah dengan kedua orang tua saya untuk selanjutnya menaiki pesawat. Sebelumnya, beberapa rekan saya sudah menelpon dan meng-SMS saya selama di bandara (terima kasih buat semuanya). Akhirnya, sampai di atas pesawat, saya mencoba menelponnya, dan benar-benar sedih, untungnya si pramugari baik dengan memberikan tisu dalam keadaan pesawat masih cukup sepi, jadi HARGA DIRI saya masih terselamatkan.
Maka perjalanan pun dimulai, saya sempat transit di Singapura sebentar, untuk kemudian berlanjut ke Frankfurt, transit cukup lama di Frankfurt (sekitar 3 jam), untuk kemudian menaiki pesawat ke Lisbon, Portugal. Sampailah saya di Lisbon pada hari Kamis, 10 September 2009, sekitar pukul 11.30 siang waktu Lisbon (GMT+0). Kemudian menuju asrama, sebenarnya ada dua pilihan, taksi atau kendaraan umum (bus + kereta + tram), tapi karena saya belum tahu apa-apa, saya tidak berani nekat dan memilih menggunakan taksi.
Rupa-rupanya tempat saya tinggal ini benar-benar jauh dari "peradaban", benar-benar sepi. Sampai di kamar, saya langsung menyalakan laptop saya, dan untunglah ada wireless connection disediakan oleh asrama (meski memblok Youtube, Rapidshare, Torrent, dan file-file semacamnya), dan mulailah saya ceting dengan beberapa orang yang kebetulan online pada saat itu. Setelah sekitar satu jam, saya pun duduk di tempat tidur saya... Tiba-tiba teringat masa-masa perpisahan, dan saya pun sedih lagi...
Hari kedua, saya mencoba ke kampus, melapor kedatangan. Dan diberitahukan bahwa untuk membuat akun bank, harus memiliki fiscal number atau semacamnya, yang membuat ngerasa repot bener sih. Sampai hari ini, hal sedih yang pertama saya ketahui adalah, semua peraih beasiswa Erasmus Mundus yang lain berasal dari negara yang bahasa nasionalnya Spanyol, yang cukup dekat dengan bahasa Portugis, jadi merasa benar-benar sendirian deh. Kemudian saya ke Lisbon untuk solat, sambil berharap 1-2 orang Indonesia disana, tapi sayangnya tidak ada sama sekali... Bener-bener merasa sendiri di negara ini. Fuuuh.
Hari-hari berikutnya (selama sekitar 4 hari), biasanya sedih saat sahur ato berbuka, karena kangen makan sama keluarga, juga sedih kalo ceting ma orang tua di Indonesia sana ato saat menelpon/ditelpon mereka. Tapi hari-hari setelahnya, alhamdulillah, sepertinya sudah bisa menerima keadaan, apalagi setelah berkenalan dengan beberapa orang di asrama ini, ada orang Portugal (pastinya), ada orang Meksiko, ada orang Spanyol, ada orang Rumania, ada orang Mozambik, ada orang Cina (tapi mereka gaulnya ama orang-orang Cina doang nih) dan bahkan ada orang Timor Leste! Lumayan lah, at least ada yang bisa berbahasa (mirip) Indonesia juga lah, meski si orang Timor ini lancar berbahasa Portugis juga sih.
Yah, masalah makanan, orang Indonesia, komunitas Islam adalah masalah lumayan besar disini. Susah sekali mencari daging halal (harus ke Lisbon bagian ujung utara), akhirnya saya makan ikan aja terus deh... Hahaha.
Terakhir, rencana saya, akhir tahun ini kan mau main-main ke tempat kakak-kakak saya (di Jerman dan Belanda), maka dengan semangat 23 (semangat seseorang saat berusia 23 tahun) berangkatlah saya menuju International Office di kampus bersama seorang rekan saya, menanyakan tentang pembuatan residence permit (soalnya Portugal ini punya kebijakan payah banget, kalo seseorang mau studi maka dapetnya visa Portugal doang, bukan Schengen, padahal negara-negara lainnya bakalan ngasih visa Schengen), karena dengan memiliki residence permit, saya sudah diperbolehkan jalan-jalan ke 25 negara Schengen (termasuk Jerman dan Belanda) seenaknya. Tapi rupanya harapan ini agak-agak hancur karena ternyata pembuatan residence permit baru diperbolehkan satu bulan sebelum visa habis, padahal visa saya baru habis akhir Desember, dan pembuatannya memakan waktu satu bulan, padahal rencananya tanggal 20an saya sudah ingin berangkat ke Jerman. Akhirnya, saya mengambil keputusan untuk membuat visa wisata ke Schengen saja. Bela-belain lah, keluar uang "sedikit" gak apa-apa...
Jika rekan-rekan berminat kuliah dan memiliki mental anak-rumahan seperti saya, jelas Portugal bukan pilihan bijak, tapi Belanda, Jerman, Prancis, Inggris, Austria, Belgia, Italia dan lain-lain (sepertinya semua negara Eropa bagian Barat) sepertinya jauh lebih baik, terutama dalam usaha pencarian teman. Tapi jika ingin tempat yang lebih hangat, lebih adem, Portugal (atau Spanyol) mungkin pilihan yang lebih tepat, soalnya disini hangat, bahkan saat ini juga masih hangat, padahal di beberapa daerah yang lebih utara (Jerman, Belanda, apalagi Swedia atau Finlandia), temperaturnya sudah mencapai 10 derajat celcius. So, happy scholarship hunting!
Oke, langsung cerita dikit deh tentang kehidupan awal saya disini, dan saya mengambil sudut terbalik dari yang biasanya digembor-gemborkan di
**DISCLAIMER: isi blog ini tidak bermaksud menakut-nakuti mereka yang berminat berkuliah di luar negeri, jadi jika anda khawatir takut setelah membaca tulisan ini, mending jangan membacanya. Segala efek samping (jika ada) dari isi blog ini tidak ditanggung oleh penulis**
Maka, pada tanggal cantik, 090909 (9 September 2009, red), bersiaplah saya berangkat menuju travel Cipaganti yang terletak di jalan Dipatiukur. Kesedihan pertama sudah muncul, ketika harus berpisah dengan rumah tercinta, dengan kakak pertama dan kakak ipar pertama, serta dengan keponakan kedua, agak basah sedikit mata ini, tapi masih bisa ditahan. Maka sampailah saya (diantar oleh adik, nenek, keponakan pertama, serta orang tua saya), kesedihan kedua, ketika berpisah dengan para pengantar (selain orang tua saya) sampai di travel... Akhirnya saya pun berjalan-jalan, sok-sok melihat-lihat pemandangan di luar, supaya tidak terlihat oleh orang tua saya :D Sampai di bandara sekitar pukul 5.30 sore, segeralah saya check-in dan mengurus bebas fiskal, untuk kemudian keluar lagi, menikmati berbuka di Indonesia terakhir untuk tahun 2009 bersama kedua orang tua saya. Dan kesedihan saya tidak bisa terbendung ketika akhirnya masuk lagi, berpisah dengan kedua orang tua saya untuk selanjutnya menaiki pesawat. Sebelumnya, beberapa rekan saya sudah menelpon dan meng-SMS saya selama di bandara (terima kasih buat semuanya). Akhirnya, sampai di atas pesawat, saya mencoba menelponnya, dan benar-benar sedih, untungnya si pramugari baik dengan memberikan tisu dalam keadaan pesawat masih cukup sepi, jadi HARGA DIRI saya masih terselamatkan.
Maka perjalanan pun dimulai, saya sempat transit di Singapura sebentar, untuk kemudian berlanjut ke Frankfurt, transit cukup lama di Frankfurt (sekitar 3 jam), untuk kemudian menaiki pesawat ke Lisbon, Portugal. Sampailah saya di Lisbon pada hari Kamis, 10 September 2009, sekitar pukul 11.30 siang waktu Lisbon (GMT+0). Kemudian menuju asrama, sebenarnya ada dua pilihan, taksi atau kendaraan umum (bus + kereta + tram), tapi karena saya belum tahu apa-apa, saya tidak berani nekat dan memilih menggunakan taksi.
Rupa-rupanya tempat saya tinggal ini benar-benar jauh dari "peradaban", benar-benar sepi. Sampai di kamar, saya langsung menyalakan laptop saya, dan untunglah ada wireless connection disediakan oleh asrama (meski memblok Youtube, Rapidshare, Torrent, dan file-file semacamnya), dan mulailah saya ceting dengan beberapa orang yang kebetulan online pada saat itu. Setelah sekitar satu jam, saya pun duduk di tempat tidur saya... Tiba-tiba teringat masa-masa perpisahan, dan saya pun sedih lagi...
Hari kedua, saya mencoba ke kampus, melapor kedatangan. Dan diberitahukan bahwa untuk membuat akun bank, harus memiliki fiscal number atau semacamnya, yang membuat ngerasa repot bener sih. Sampai hari ini, hal sedih yang pertama saya ketahui adalah, semua peraih beasiswa Erasmus Mundus yang lain berasal dari negara yang bahasa nasionalnya Spanyol, yang cukup dekat dengan bahasa Portugis, jadi merasa benar-benar sendirian deh. Kemudian saya ke Lisbon untuk solat, sambil berharap 1-2 orang Indonesia disana, tapi sayangnya tidak ada sama sekali... Bener-bener merasa sendiri di negara ini. Fuuuh.
Hari-hari berikutnya (selama sekitar 4 hari), biasanya sedih saat sahur ato berbuka, karena kangen makan sama keluarga, juga sedih kalo ceting ma orang tua di Indonesia sana ato saat menelpon/ditelpon mereka. Tapi hari-hari setelahnya, alhamdulillah, sepertinya sudah bisa menerima keadaan, apalagi setelah berkenalan dengan beberapa orang di asrama ini, ada orang Portugal (pastinya), ada orang Meksiko, ada orang Spanyol, ada orang Rumania, ada orang Mozambik, ada orang Cina (tapi mereka gaulnya ama orang-orang Cina doang nih) dan bahkan ada orang Timor Leste! Lumayan lah, at least ada yang bisa berbahasa (mirip) Indonesia juga lah, meski si orang Timor ini lancar berbahasa Portugis juga sih.
Yah, masalah makanan, orang Indonesia, komunitas Islam adalah masalah lumayan besar disini. Susah sekali mencari daging halal (harus ke Lisbon bagian ujung utara), akhirnya saya makan ikan aja terus deh... Hahaha.
Terakhir, rencana saya, akhir tahun ini kan mau main-main ke tempat kakak-kakak saya (di Jerman dan Belanda), maka dengan semangat 23 (semangat seseorang saat berusia 23 tahun) berangkatlah saya menuju International Office di kampus bersama seorang rekan saya, menanyakan tentang pembuatan residence permit (soalnya Portugal ini punya kebijakan payah banget, kalo seseorang mau studi maka dapetnya visa Portugal doang, bukan Schengen, padahal negara-negara lainnya bakalan ngasih visa Schengen), karena dengan memiliki residence permit, saya sudah diperbolehkan jalan-jalan ke 25 negara Schengen (termasuk Jerman dan Belanda) seenaknya. Tapi rupanya harapan ini agak-agak hancur karena ternyata pembuatan residence permit baru diperbolehkan satu bulan sebelum visa habis, padahal visa saya baru habis akhir Desember, dan pembuatannya memakan waktu satu bulan, padahal rencananya tanggal 20an saya sudah ingin berangkat ke Jerman. Akhirnya, saya mengambil keputusan untuk membuat visa wisata ke Schengen saja. Bela-belain lah, keluar uang "sedikit" gak apa-apa...
Jika rekan-rekan berminat kuliah dan memiliki mental anak-rumahan seperti saya, jelas Portugal bukan pilihan bijak, tapi Belanda, Jerman, Prancis, Inggris, Austria, Belgia, Italia dan lain-lain (sepertinya semua negara Eropa bagian Barat) sepertinya jauh lebih baik, terutama dalam usaha pencarian teman. Tapi jika ingin tempat yang lebih hangat, lebih adem, Portugal (atau Spanyol) mungkin pilihan yang lebih tepat, soalnya disini hangat, bahkan saat ini juga masih hangat, padahal di beberapa daerah yang lebih utara (Jerman, Belanda, apalagi Swedia atau Finlandia), temperaturnya sudah mencapai 10 derajat celcius. So, happy scholarship hunting!
No comments:
Post a Comment