Mulai edisi ini, saya akan berbagi sedikit cerita mengenai kehidupan di Portugal, mungkin bisa dijadikan rujukan (ngarep bener) bagi mereka-mereka, tidak hanya yang berkuliah, tapi juga yang akan tinggal di Portugal.
Tempat Tinggal
Sebelum banyak berkoar tentang kehidupan yang lain-lain, saya akan sedikit bercerita mengenai kehidupanberasmara berasrama saya disini. Saya cukup beruntung menyadari bahwa saya mendapat asrama disini, lokasi sangat dekat dengan kampus (sekitar 10 menit jalan kaki), tempatnya cukup asri, kamarnya juga sudah cukup ukurannya (3x5 meter), dilengkapi dengan kamar mandi, dan biayanya juga tidak terlampau mahal, hanya 210 euro... Never ever convert this to rupiah.
Dengan biaya segitu saja, saya sudah mendapat fasilitas all-in, seperti listrik, gas dan air. Tentunya cocok bagi orang yang boros, yang lampunya jarang dimatiin, yang laptopnya dinyalain 24 jam, yang mandi sejam, yang doyan masak, atau yang nyalain pemanas kekuatan tinggi bukan untuk dimanfaatkan menghangatkan badan, tapi untuk mengeringkan pakaian yang basah (pengalaman pribadi), selain itu di asrama ini juga sudah disediakan internet gratis (hotspot), hanya sayangnya apa-apa diblok... Kenikmatan-kenikmatan internet seperti filesharing (rapidshare, megaupload, 4shared), torrent, streaming (nonton sepakbola live, misalnya), video sharing (youtube, footytube), file-file berbau aplikasi java (Yahoo Games), dan tentunya file-file berbau proxy, bahkan yang terakhir ini agak konyol karena google translate juga diblok (emang sih google translate bisa jadi proxy), tapi akhirnya dibuka setelah saya kirim komplain ke adminnya, bilang kalo saya gak bisa hidup di Portugal ini tanpa translator, dan akhirnya dibukakan.
Keuntungan lainnya adalah keamanan, berhubung ini asrama, jadi ya dijaga ama security gitu, selain itu saya tidak perlu repot mengganti seprai, selimut, sarung bantal pula, karena tiap pekan, pada hari rabu, kita boleh menukarnya dengan yang bersih, jadi gak repot mau nyuci-nyuci segala, tapi khusus untuk itu aja ya, soalnya untuk pakaian ya tetep harus nyuci sendiri.
Enaknya lagi, berhubung penduduk asramanya multi nasional (sebagian besar sih berbahasa portugis atau spanyol), jadi ya lumayan lah, bahasa Inggris dipakai juga di asrama ini, meski tidak banyak juga yang menggunakannya. Umumnya pengguna bahasa inggris di sini adalah orang-orang India, Cina, Turki, atau penduduk Eropa pusat (Jerman, Italia) atau timur (Rumania, Slovakia).
Tentunya disamping enaknya itu, ada juga gak enaknya... Misalnya dapur yang tersedia cukup terbatas... Satu dapur untuk sekitar 20 penghuni, saya sendiri cukup beruntung berada di lantai yang isinya laki-laki semua, yang notabene jarang yang suka masak, jadi ya jarang rebutan menggunakan dapur, palingan nunggu satu orang aja, dan kalo sudah tau waktu makan orang-orang Portugal pada umumnya, bisa kok selalu pas pengen masak (gak pengen masak sih, pengen makan sebenernya), pas dapur lagi kosong.
Nah satu lagi gak enaknya adalah, meski harganya tergolong murah (apalagi kalo dibanding harga di eropa bagian lain), tapi harga sewa asramanya masih kurang murah. Di dekat-dekat asrama ini masih ada kosan seharga 140an euro, meski belum all-in sih (tapi setelah all-in, palingan kenanya juga 170 euro). Tapi dengan bermodalkan alasan malas kalo pindahan segala, akhirnya saya memutuskan tetap berdiam di dalam asrama ini saja.....
Makanan
Oke, ini "masalah" orang Indonesia (kalo untuk orang Indonesia sih sebenernya gak begitu masalah) atau lebih tepatnya dibilang masalah bagi yang beragama Islam. Dua paragraf dibawah ini sepertinya khusus bagi yang beragama Islam atau tidak masalah membaca artikel yang agak-agak berbau islam.
Tidak seperti di negara Belanda, Prancis atau Jerman, yang penduduk Islamnya menurut situs ini sekitar 5-10% penduduknya (di Belanda sendiri, setahu saya ada sekitar satu juta penduduk muslim), di Portugal jumlah muslim hanya sekitar 0.1% penduduk. Jelas bukan jumlah yang signifikan. Ini sangat mempersulit, setidaknya bagi saya, untuk menemukan makanan yang halal, terutama daging-dagingan (ayam, sapi, atau kambing). Masalahnya bukan pada jenis dagingnya (babi jelas dilarang), tapi pada cara penyembelihannya. Karena penyembelihan yang tidak sesuai kaidah Al-Qur'an (leher tidak boleh putus, menyembelih atas nama Allah, dll) juga termasuk daging yang haram, dan dengan kondisi 99.9% penduduk sini tidak beragama Islam, mereka tidak tahu halal itu apa dan bagaimana. Sebagian orang Indonesia disini sih memilih, "yaudah bismillah aja", yang tentunya tidak semudah itu saya ikuti. Karena toh saya gak mati, gak pingsan, gak menderita kalo gak makan daging, kenapa harus repot makan daging juga.
Hal ini pernah menjadi bahan diskusi saya dengan seorang rekan saya. Dia menanyakan, apa kalo di negara yang mayoritas muslim, dagingnya pasti halal atau tidak, dan tentu saja saya katakan tidak. Akhirnya dia bertanya lagi, apa saya jika makan di warteg, warung pecel, atau semacamnya di Indonesia, pernah bertanya tentang kehalalan dagingnya. Saya sedikit tertohok, tapi akhirnya saya menemukan jawaban yang cukup masuk akal, yaitu ayat yang menyatakan bahwa apa yang meragukan itu sebaiknya ditinggalkan. Saya jelas ragu apa daging yang ada di Portugal ini halal atau tidak (malah bisa dibilang, saya cukup optimis bahwa daging-daging tersebut haram), dan saya tidak ragu mengenai hal tersebut yang ada di Indonesia, penjelasan yang cukup logis kan?
Seperti kata Bu Inge, hidup itu Yin dan Yang, ada gak enak pasti ada enaknya juga, begitupun disini. Lokasi yang dekat dengan kampus membuat saya bisa makan di kantin kampus (tentunya saya selalu mengambil menu ikan), harganya murah (hanya 2.15 euro), dan kuantitasnya banyak sekali (roti, sup, jus jeruk/susu, main course (daging/ikan/vegetarian), salad, dessert), dan menyediakan makanan untuk makan siang maupun makan malam. Biasanya saya membungkus roti dan susunya, lumayan menambah perbekalan di rumah :D
Kelanjutan cerita tentang sisi kehidupan lain di Portugal akan saya sampaikan lain waktu... Bye...
Tempat Tinggal
Sebelum banyak berkoar tentang kehidupan yang lain-lain, saya akan sedikit bercerita mengenai kehidupan
Dengan biaya segitu saja, saya sudah mendapat fasilitas all-in, seperti listrik, gas dan air. Tentunya cocok bagi orang yang boros, yang lampunya jarang dimatiin, yang laptopnya dinyalain 24 jam, yang mandi sejam, yang doyan masak, atau yang nyalain pemanas kekuatan tinggi bukan untuk dimanfaatkan menghangatkan badan, tapi untuk mengeringkan pakaian yang basah (pengalaman pribadi), selain itu di asrama ini juga sudah disediakan internet gratis (hotspot), hanya sayangnya apa-apa diblok... Kenikmatan-kenikmatan internet seperti filesharing (rapidshare, megaupload, 4shared), torrent, streaming (nonton sepakbola live, misalnya), video sharing (youtube, footytube), file-file berbau aplikasi java (Yahoo Games), dan tentunya file-file berbau proxy, bahkan yang terakhir ini agak konyol karena google translate juga diblok (emang sih google translate bisa jadi proxy), tapi akhirnya dibuka setelah saya kirim komplain ke adminnya, bilang kalo saya gak bisa hidup di Portugal ini tanpa translator, dan akhirnya dibukakan.
Keuntungan lainnya adalah keamanan, berhubung ini asrama, jadi ya dijaga ama security gitu, selain itu saya tidak perlu repot mengganti seprai, selimut, sarung bantal pula, karena tiap pekan, pada hari rabu, kita boleh menukarnya dengan yang bersih, jadi gak repot mau nyuci-nyuci segala, tapi khusus untuk itu aja ya, soalnya untuk pakaian ya tetep harus nyuci sendiri.
Enaknya lagi, berhubung penduduk asramanya multi nasional (sebagian besar sih berbahasa portugis atau spanyol), jadi ya lumayan lah, bahasa Inggris dipakai juga di asrama ini, meski tidak banyak juga yang menggunakannya. Umumnya pengguna bahasa inggris di sini adalah orang-orang India, Cina, Turki, atau penduduk Eropa pusat (Jerman, Italia) atau timur (Rumania, Slovakia).
Tentunya disamping enaknya itu, ada juga gak enaknya... Misalnya dapur yang tersedia cukup terbatas... Satu dapur untuk sekitar 20 penghuni, saya sendiri cukup beruntung berada di lantai yang isinya laki-laki semua, yang notabene jarang yang suka masak, jadi ya jarang rebutan menggunakan dapur, palingan nunggu satu orang aja, dan kalo sudah tau waktu makan orang-orang Portugal pada umumnya, bisa kok selalu pas pengen masak (gak pengen masak sih, pengen makan sebenernya), pas dapur lagi kosong.
Nah satu lagi gak enaknya adalah, meski harganya tergolong murah (apalagi kalo dibanding harga di eropa bagian lain), tapi harga sewa asramanya masih kurang murah. Di dekat-dekat asrama ini masih ada kosan seharga 140an euro, meski belum all-in sih (tapi setelah all-in, palingan kenanya juga 170 euro). Tapi dengan bermodalkan alasan malas kalo pindahan segala, akhirnya saya memutuskan tetap berdiam di dalam asrama ini saja.....
Makanan
Oke, ini "masalah" orang Indonesia (kalo untuk orang Indonesia sih sebenernya gak begitu masalah) atau lebih tepatnya dibilang masalah bagi yang beragama Islam. Dua paragraf dibawah ini sepertinya khusus bagi yang beragama Islam atau tidak masalah membaca artikel yang agak-agak berbau islam.
Tidak seperti di negara Belanda, Prancis atau Jerman, yang penduduk Islamnya menurut situs ini sekitar 5-10% penduduknya (di Belanda sendiri, setahu saya ada sekitar satu juta penduduk muslim), di Portugal jumlah muslim hanya sekitar 0.1% penduduk. Jelas bukan jumlah yang signifikan. Ini sangat mempersulit, setidaknya bagi saya, untuk menemukan makanan yang halal, terutama daging-dagingan (ayam, sapi, atau kambing). Masalahnya bukan pada jenis dagingnya (babi jelas dilarang), tapi pada cara penyembelihannya. Karena penyembelihan yang tidak sesuai kaidah Al-Qur'an (leher tidak boleh putus, menyembelih atas nama Allah, dll) juga termasuk daging yang haram, dan dengan kondisi 99.9% penduduk sini tidak beragama Islam, mereka tidak tahu halal itu apa dan bagaimana. Sebagian orang Indonesia disini sih memilih, "yaudah bismillah aja", yang tentunya tidak semudah itu saya ikuti. Karena toh saya gak mati, gak pingsan, gak menderita kalo gak makan daging, kenapa harus repot makan daging juga.
Hal ini pernah menjadi bahan diskusi saya dengan seorang rekan saya. Dia menanyakan, apa kalo di negara yang mayoritas muslim, dagingnya pasti halal atau tidak, dan tentu saja saya katakan tidak. Akhirnya dia bertanya lagi, apa saya jika makan di warteg, warung pecel, atau semacamnya di Indonesia, pernah bertanya tentang kehalalan dagingnya. Saya sedikit tertohok, tapi akhirnya saya menemukan jawaban yang cukup masuk akal, yaitu ayat yang menyatakan bahwa apa yang meragukan itu sebaiknya ditinggalkan. Saya jelas ragu apa daging yang ada di Portugal ini halal atau tidak (malah bisa dibilang, saya cukup optimis bahwa daging-daging tersebut haram), dan saya tidak ragu mengenai hal tersebut yang ada di Indonesia, penjelasan yang cukup logis kan?
Seperti kata Bu Inge, hidup itu Yin dan Yang, ada gak enak pasti ada enaknya juga, begitupun disini. Lokasi yang dekat dengan kampus membuat saya bisa makan di kantin kampus (tentunya saya selalu mengambil menu ikan), harganya murah (hanya 2.15 euro), dan kuantitasnya banyak sekali (roti, sup, jus jeruk/susu, main course (daging/ikan/vegetarian), salad, dessert), dan menyediakan makanan untuk makan siang maupun makan malam. Biasanya saya membungkus roti dan susunya, lumayan menambah perbekalan di rumah :D
Kelanjutan cerita tentang sisi kehidupan lain di Portugal akan saya sampaikan lain waktu... Bye...
Hallo kak saya mw tanya tanya tentang portugal bisa lewat mana ya
ReplyDelete