11.12.09

Hidup di Portugal (Part II)

Postingan ini adalah edisi kedua dari cerita kehidupan (saya) di Portugal... Edisi sebelumnya bisa dilihat di sini...

Komunikasi

Mau tidak mau, suka tidak suka, harus diakui ini adalah salah satu masalah terbesar kehidupan di luar negeri, terutama jika kita tidak menguasai bahasa penduduknya, ditambah lagi dengan kondisi bahwa sebagian besar penduduknya tidak menguasai bahasa Inggris. Awalnya semangat saya untuk mencoba belajar bahasa portugis cukup tinggi, supaya setidaknya bisa berkomunikasi dengan cukup lancar, dengan mengikuti kursus (yang bisa dianggap kuliah juga, soalnya ada kredit kuliahnya juga) di Lisbon sana. Waktu demi waktu berlalu, semangat itu hanya tinggal semangat, dua alasan yang cukup kuat membuat saya agak malas-malasan untuk "berkuliah" itu lagi.

Pertama, kenyataan bahwa pengajar kuliah itu luar biasa ngebutnya dalam mengajar. Luar biasa cepatnya. Dan yang kedua, setelah tahu bahwa kredit kuliah bahasa ini tidak bisa dimasukkan ke daftar nilai akhir (ngejar ilmu apa ngejar kuliah Zak? :P). Ditambah dengan keadaan bahwa obrolan saya dengan teman-teman satu jurusan dan kuliah dilaksanakan (kaya upacara aja) dalam bahasa Inggris, membuat kosakata bahasa portugis saya gak banyak berkembang. Paling ujung-ujungnya cuma bisa nao falo portugues, bom dia, boa tarde, boa noite, obrigado, desculpe, por favor, todo bem, como estas? Pokoknya bener-bener frase-frase dasar sehari-hari :D Untungnya, penduduk Portugal adalah penduduk yang ramah (katanya, tidak seperti penduduk spanyol, prancis, ato jerman yang agak anti dengan bahasa Inggris), sangat mau membantu meski pakai bahasa tarzan. Bener-bener saya ketolong dengan kemampuan bahasa portugis mendekati 0 dari kanan ini, padahal oleh orang-orang yang notabene tidak bisa berbahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia.

Komunitas Indonesia

Jika ini adalah salah satu concern Anda dalam menentukan pilihan tujuan negara untuk berkuliah (atau untuk keperluan lainnya), maka buang jauh-jauh kata Portugal dari kamus Anda. Biarkan kamusnya agak gak lengkap sedikit, lagipula setau saya sih yaa, di kamus itu gak ada deh nama negara, paling kalo mau cari di kamus pintar ato RPUL.

Intinya, jika tujuan utama kuliah ke luar negeri adalah untuk bertemu orang Indonesia, maka jangan pilih Portugal. Malah kalo emang tujuan utamanya adalah untuk bertemu orang Indonesia, menurut saya yang terbaik adalah tetap di Indonesia. Hehehe. Maksud saya, jika kita bandingkan jumlah orang Indonesia di Portugal dan negara-negara Eropa bagian barat lainnya, seperti Jerman, Belanda, Italia, Spanyol, Inggris, and so on, kan kaudapati seikat kembang merah bahwa Portugal bukan negara yang populer dalam hal studi, karena memang bukan tempat tujuan belajar utama, alias tidak ada universitas Portugal yang namanya menjulang di kancah peruniversitasan dunia. Sebagai perbandingan ringan, menurut data KBRI, diperkirakan terdapat sekitar 70-80 WNI (jumlahnya tidak pasti karena ada WNI yang berpindah-pindah negara setiap satuan waktu) di Portugal, dan menurut data dari seseorang yang tinggal di salah satu kota di Belanda, 80 orang adalah jumlah yang bisa dicapai dalam satu pertemuan rutin di kota itu saja.

Hal ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh putusnya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Portugal akibat Timor Timur, dan hubungan keduanya baru mulai terjalin lagi sejak 2001. Yah, itu aja sih (kesimpulan yang kurang menarik).


Sekian saja edisi kedua saya dalam serial kehidupan di Portugal, nantikan kisah-kisah kehidupan ini selanjutnya, masih di blog yang sama. Blog saya.

25.11.09

Hidup di Portugal (Part I)

Mulai edisi ini, saya akan berbagi sedikit cerita mengenai kehidupan di Portugal, mungkin bisa dijadikan rujukan (ngarep bener) bagi mereka-mereka, tidak hanya yang berkuliah, tapi juga yang akan tinggal di Portugal.

Tempat Tinggal

Sebelum banyak berkoar tentang kehidupan yang lain-lain, saya akan sedikit bercerita mengenai kehidupan berasmara berasrama saya disini. Saya cukup beruntung menyadari bahwa saya mendapat asrama disini, lokasi sangat dekat dengan kampus (sekitar 10 menit jalan kaki), tempatnya cukup asri, kamarnya juga sudah cukup ukurannya (3x5 meter), dilengkapi dengan kamar mandi, dan biayanya juga tidak terlampau mahal, hanya 210 euro... Never ever convert this to rupiah.

Dengan biaya segitu saja, saya sudah mendapat fasilitas all-in, seperti listrik, gas dan air. Tentunya cocok bagi orang yang boros, yang lampunya jarang dimatiin, yang laptopnya dinyalain 24 jam, yang mandi sejam, yang doyan masak, atau yang nyalain pemanas kekuatan tinggi bukan untuk dimanfaatkan menghangatkan badan, tapi untuk mengeringkan pakaian yang basah (pengalaman pribadi), selain itu di asrama ini juga sudah disediakan internet gratis (hotspot), hanya sayangnya apa-apa diblok... Kenikmatan-kenikmatan internet seperti filesharing (rapidshare, megaupload, 4shared), torrent, streaming (nonton sepakbola live, misalnya), video sharing (youtube, footytube), file-file berbau aplikasi java (Yahoo Games), dan tentunya file-file berbau proxy, bahkan yang terakhir ini agak konyol karena google translate juga diblok (emang sih google translate bisa jadi proxy), tapi akhirnya dibuka setelah saya kirim komplain ke adminnya, bilang kalo saya gak bisa hidup di Portugal ini tanpa translator, dan akhirnya dibukakan.

Keuntungan lainnya adalah keamanan, berhubung ini asrama, jadi ya dijaga ama security gitu, selain itu saya tidak perlu repot mengganti seprai, selimut, sarung bantal pula, karena tiap pekan, pada hari rabu, kita boleh menukarnya dengan yang bersih, jadi gak repot mau nyuci-nyuci segala, tapi khusus untuk itu aja ya, soalnya untuk pakaian ya tetep harus nyuci sendiri.

Enaknya lagi, berhubung penduduk asramanya multi nasional (sebagian besar sih berbahasa portugis atau spanyol), jadi ya lumayan lah, bahasa Inggris dipakai juga di asrama ini, meski tidak banyak juga yang menggunakannya. Umumnya pengguna bahasa inggris di sini adalah orang-orang India, Cina, Turki, atau penduduk Eropa pusat (Jerman, Italia) atau timur (Rumania, Slovakia).

Tentunya disamping enaknya itu, ada juga gak enaknya... Misalnya dapur yang tersedia cukup terbatas... Satu dapur untuk sekitar 20 penghuni, saya sendiri cukup beruntung berada di lantai yang isinya laki-laki semua, yang notabene jarang yang suka masak, jadi ya jarang rebutan menggunakan dapur, palingan nunggu satu orang aja, dan kalo sudah tau waktu makan orang-orang Portugal pada umumnya, bisa kok selalu pas pengen masak (gak pengen masak sih, pengen makan sebenernya), pas dapur lagi kosong.

Nah satu lagi gak enaknya adalah, meski harganya tergolong murah (apalagi kalo dibanding harga di eropa bagian lain), tapi harga sewa asramanya masih kurang murah. Di dekat-dekat asrama ini masih ada kosan seharga 140an euro, meski belum all-in sih (tapi setelah all-in, palingan kenanya juga 170 euro). Tapi dengan bermodalkan alasan malas kalo pindahan segala, akhirnya saya memutuskan tetap berdiam di dalam asrama ini saja.....

Makanan

Oke, ini "masalah" orang Indonesia (kalo untuk orang Indonesia sih sebenernya gak begitu masalah) atau lebih tepatnya dibilang masalah bagi yang beragama Islam. Dua paragraf dibawah ini sepertinya khusus bagi yang beragama Islam atau tidak masalah membaca artikel yang agak-agak berbau islam.

Tidak seperti di negara Belanda, Prancis atau Jerman, yang penduduk Islamnya menurut situs ini sekitar 5-10% penduduknya (di Belanda sendiri, setahu saya ada sekitar satu juta penduduk muslim), di Portugal jumlah muslim hanya sekitar 0.1% penduduk. Jelas bukan jumlah yang signifikan. Ini sangat mempersulit, setidaknya bagi saya, untuk menemukan makanan yang halal, terutama daging-dagingan (ayam, sapi, atau kambing). Masalahnya bukan pada jenis dagingnya (babi jelas dilarang), tapi pada cara penyembelihannya. Karena penyembelihan yang tidak sesuai kaidah Al-Qur'an (leher tidak boleh putus, menyembelih atas nama Allah, dll) juga termasuk daging yang haram, dan dengan kondisi 99.9% penduduk sini tidak beragama Islam, mereka tidak tahu halal itu apa dan bagaimana. Sebagian orang Indonesia disini sih memilih, "yaudah bismillah aja", yang tentunya tidak semudah itu saya ikuti. Karena toh saya gak mati, gak pingsan, gak menderita kalo gak makan daging, kenapa harus repot makan daging juga.

Hal ini pernah menjadi bahan diskusi saya dengan seorang rekan saya. Dia menanyakan, apa kalo di negara yang mayoritas muslim, dagingnya pasti halal atau tidak, dan tentu saja saya katakan tidak. Akhirnya dia bertanya lagi, apa saya jika makan di warteg, warung pecel, atau semacamnya di Indonesia, pernah bertanya tentang kehalalan dagingnya. Saya sedikit tertohok, tapi akhirnya saya menemukan jawaban yang cukup masuk akal, yaitu ayat yang menyatakan bahwa apa yang meragukan itu sebaiknya ditinggalkan. Saya jelas ragu apa daging yang ada di Portugal ini halal atau tidak (malah bisa dibilang, saya cukup optimis bahwa daging-daging tersebut haram), dan saya tidak ragu mengenai hal tersebut yang ada di Indonesia, penjelasan yang cukup logis kan?

Seperti kata Bu Inge, hidup itu Yin dan Yang, ada gak enak pasti ada enaknya juga, begitupun disini. Lokasi yang dekat dengan kampus membuat saya bisa makan di kantin kampus (tentunya saya selalu mengambil menu ikan), harganya murah (hanya 2.15 euro), dan kuantitasnya banyak sekali (roti, sup, jus jeruk/susu, main course (daging/ikan/vegetarian), salad, dessert), dan menyediakan makanan untuk makan siang maupun makan malam. Biasanya saya membungkus roti dan susunya, lumayan menambah perbekalan di rumah :D


Kelanjutan cerita tentang sisi kehidupan lain di Portugal akan saya sampaikan lain waktu... Bye...

9.11.09

Senangnya menjadi anak IF :D

Betapa bahagianya hidup saya di IF ini... Percakapan berikut ini menjadi bukti betapa menyenangkannya punya teman-teman yang "gila", seperti saya ini :D

(1:30:37 PM) myself: jeleger!
(1:39:56 PM) olip: howaahhh
(1:40:00 PM) olip: kamar saya berantakan
(1:40:01 PM) olip: ada apa ini?
(1:40:10 PM) myself: hahh?? seriusan?
(1:40:13 PM) myself: ada yang masuk????
(1:40:22 PM) olip: tadi saya mendengar bunyi ledakan
(1:40:32 PM) olip: lalu saya berlari kembali ke kamar untuk melihat keadaan
(1:40:37 PM) olip: ternyata kamar saya jadi hancur
(1:40:39 PM) myself: ledakan????
(1:40:44 PM) olip: harus ada yg bertanggung jawab iniii
(1:40:49 PM) myself: ledakan apaan???
(1:41:05 PM) olip: entah
(1:41:10 PM) olip: bunyinya JELEGER gitu
(1:41:47 PM) myself: hahh... baru banget jadi berantakannya??
(1:41:54 PM) olip: kayaknya begitu
(1:42:02 PM) olip: begitu bunyi ledakan saya lari tadi
(1:42:03 PM) olip: dari kopo
(1:42:43 PM) myself: dari kopo???
(1:42:53 PM) olip: iya
(1:43:04 PM) myself: gak ngerti saya, kamu dari kopo lari ke kosan?
(1:43:55 PM) myself: gimana sih maksudnya, beneran gak ngerti nih :(
(1:44:06 PM) olip: kan lagi ktt
(1:45:06 PM) myself: jadi, kamu dari mana???
(1:45:23 PM) myself: oooooooooooooooooooooooooooooh
(1:45:28 PM) myself: jeleger tuh dari sayanya ya?? :))
(1:45:32 PM) myself: baru nyadar!!! :))
(1:49:46 PM) olip: ....
(1:49:51 PM) olip: kirain dah nyadar dari tadi
(1:49:57 PM) myself: hwahahahaha :))
(1:50:01 PM) olip: jengjenggg
(1:50:05 PM) myself: menarik nih dimasukin di blog :P
(1:50:17 PM) olip: butuh berapa lama om?
(1:50:30 PM) myself: hampir 3 menit
(1:51:27 PM) olip: ;))
(1:51:34 PM) olip: lupa klo nulis jeleger ya
(1:52:02 PM) myself: iyah :))
(1:52:12 PM) myself: abisnya udah jauh terlupakan :P
(1:52:26 PM) olip: ;)) kompie ditinggal nonton opeje seh tadi
(1:52:32 PM) myself: opeje
(1:52:39 PM) myself: oyaya
(1:52:49 PM) myself: udah "punya" tipi ya sekarang
(1:54:12 PM) olip: ;))

5.10.09

Kisah (sedih) sang pencari beasiswa

Alhamdulillah, 4 hari lagi tepat sebulan sudah saya di sini. Di tanah kelahiran Christiano Cristiano Ronaldo, Luis Figo, Rui Costa, serta Jose Alferez (yang terakhir nama dosen, gak penting banget yaa). Bagaimana perasaannya, well, sejauh ini lumayan, meski kota tempat saya tinggal, yaitu Caparica adalah kota yang bisa dibilang sangat kecil... Sepi banget disini. Bukan cuma orang-orangnya, tapi juga bangunannya, dikit bangeeeet... Kalo menurut saya sih kaya gini deh, bayangkan lagi di jalan tol Cipularang, terus di KM 70an tiba2 ada universitas, maka itu lah universitas tempat saya menimba ilmu, yaitu Universidade Nova de Lisboa (meski universitas ini gak ada di Indonesia sih). Mungkin agak terlalu ekstrim, tapi emang sepi banget daerah universitas ini sepertinya, jauh dari peradaban :D

Oke, langsung cerita dikit deh tentang kehidupan awal saya disini, dan saya mengambil sudut terbalik dari yang biasanya digembor-gemborkan di media massa cerita orang-orang yang berkuliah di luar negeri, tentang betapa serunya itu dan lain-lain, saya justru mengambil sisi tidak enaknya.

**DISCLAIMER: isi blog ini tidak bermaksud menakut-nakuti mereka yang berminat berkuliah di luar negeri, jadi jika anda khawatir takut setelah membaca tulisan ini, mending jangan membacanya. Segala efek samping (jika ada) dari isi blog ini tidak ditanggung oleh penulis**

Maka, pada tanggal cantik, 090909 (9 September 2009, red), bersiaplah saya berangkat menuju travel Cipaganti yang terletak di jalan Dipatiukur. Kesedihan pertama sudah muncul, ketika harus berpisah dengan rumah tercinta, dengan kakak pertama dan kakak ipar pertama, serta dengan keponakan kedua, agak basah sedikit mata ini, tapi masih bisa ditahan. Maka sampailah saya (diantar oleh adik, nenek, keponakan pertama, serta orang tua saya), kesedihan kedua, ketika berpisah dengan para pengantar (selain orang tua saya) sampai di travel... Akhirnya saya pun berjalan-jalan, sok-sok melihat-lihat pemandangan di luar, supaya tidak terlihat oleh orang tua saya :D Sampai di bandara sekitar pukul 5.30 sore, segeralah saya check-in dan mengurus bebas fiskal, untuk kemudian keluar lagi, menikmati berbuka di Indonesia terakhir untuk tahun 2009 bersama kedua orang tua saya. Dan kesedihan saya tidak bisa terbendung ketika akhirnya masuk lagi, berpisah dengan kedua orang tua saya untuk selanjutnya menaiki pesawat. Sebelumnya, beberapa rekan saya sudah menelpon dan meng-SMS saya selama di bandara (terima kasih buat semuanya). Akhirnya, sampai di atas pesawat, saya mencoba menelponnya, dan benar-benar sedih, untungnya si pramugari baik dengan memberikan tisu dalam keadaan pesawat masih cukup sepi, jadi HARGA DIRI saya masih terselamatkan.

Maka perjalanan pun dimulai, saya sempat transit di Singapura sebentar, untuk kemudian berlanjut ke Frankfurt, transit cukup lama di Frankfurt (sekitar 3 jam), untuk kemudian menaiki pesawat ke Lisbon, Portugal. Sampailah saya di Lisbon pada hari Kamis, 10 September 2009, sekitar pukul 11.30 siang waktu Lisbon (GMT+0). Kemudian menuju asrama, sebenarnya ada dua pilihan, taksi atau kendaraan umum (bus + kereta + tram), tapi karena saya belum tahu apa-apa, saya tidak berani nekat dan memilih menggunakan taksi.

Rupa-rupanya tempat saya tinggal ini benar-benar jauh dari "peradaban", benar-benar sepi. Sampai di kamar, saya langsung menyalakan laptop saya, dan untunglah ada wireless connection disediakan oleh asrama (meski memblok Youtube, Rapidshare, Torrent, dan file-file semacamnya), dan mulailah saya ceting dengan beberapa orang yang kebetulan online pada saat itu. Setelah sekitar satu jam, saya pun duduk di tempat tidur saya... Tiba-tiba teringat masa-masa perpisahan, dan saya pun sedih lagi...

Hari kedua, saya mencoba ke kampus, melapor kedatangan. Dan diberitahukan bahwa untuk membuat akun bank, harus memiliki fiscal number atau semacamnya, yang membuat ngerasa repot bener sih. Sampai hari ini, hal sedih yang pertama saya ketahui adalah, semua peraih beasiswa Erasmus Mundus yang lain berasal dari negara yang bahasa nasionalnya Spanyol, yang cukup dekat dengan bahasa Portugis, jadi merasa benar-benar sendirian deh. Kemudian saya ke Lisbon untuk solat, sambil berharap 1-2 orang Indonesia disana, tapi sayangnya tidak ada sama sekali... Bener-bener merasa sendiri di negara ini. Fuuuh.

Hari-hari berikutnya (selama sekitar 4 hari), biasanya sedih saat sahur ato berbuka, karena kangen makan sama keluarga, juga sedih kalo ceting ma orang tua di Indonesia sana ato saat menelpon/ditelpon mereka. Tapi hari-hari setelahnya, alhamdulillah, sepertinya sudah bisa menerima keadaan, apalagi setelah berkenalan dengan beberapa orang di asrama ini, ada orang Portugal (pastinya), ada orang Meksiko, ada orang Spanyol, ada orang Rumania, ada orang Mozambik, ada orang Cina (tapi mereka gaulnya ama orang-orang Cina doang nih) dan bahkan ada orang Timor Leste! Lumayan lah, at least ada yang bisa berbahasa (mirip) Indonesia juga lah, meski si orang Timor ini lancar berbahasa Portugis juga sih.

Yah, masalah makanan, orang Indonesia, komunitas Islam adalah masalah lumayan besar disini. Susah sekali mencari daging halal (harus ke Lisbon bagian ujung utara), akhirnya saya makan ikan aja terus deh... Hahaha.

Terakhir, rencana saya, akhir tahun ini kan mau main-main ke tempat kakak-kakak saya (di Jerman dan Belanda), maka dengan semangat 23 (semangat seseorang saat berusia 23 tahun) berangkatlah saya menuju International Office di kampus bersama seorang rekan saya, menanyakan tentang pembuatan residence permit (soalnya Portugal ini punya kebijakan payah banget, kalo seseorang mau studi maka dapetnya visa Portugal doang, bukan Schengen, padahal negara-negara lainnya bakalan ngasih visa Schengen), karena dengan memiliki residence permit, saya sudah diperbolehkan jalan-jalan ke 25 negara Schengen (termasuk Jerman dan Belanda) seenaknya. Tapi rupanya harapan ini agak-agak hancur karena ternyata pembuatan residence permit baru diperbolehkan satu bulan sebelum visa habis, padahal visa saya baru habis akhir Desember, dan pembuatannya memakan waktu satu bulan, padahal rencananya tanggal 20an saya sudah ingin berangkat ke Jerman. Akhirnya, saya mengambil keputusan untuk membuat visa wisata ke Schengen saja. Bela-belain lah, keluar uang "sedikit" gak apa-apa...

Jika rekan-rekan berminat kuliah dan memiliki mental anak-rumahan seperti saya, jelas Portugal bukan pilihan bijak, tapi Belanda, Jerman, Prancis, Inggris, Austria, Belgia, Italia dan lain-lain (sepertinya semua negara Eropa bagian Barat) sepertinya jauh lebih baik, terutama dalam usaha pencarian teman. Tapi jika ingin tempat yang lebih hangat, lebih adem, Portugal (atau Spanyol) mungkin pilihan yang lebih tepat, soalnya disini hangat, bahkan saat ini juga masih hangat, padahal di beberapa daerah yang lebih utara (Jerman, Belanda, apalagi Swedia atau Finlandia), temperaturnya sudah mencapai 10 derajat celcius. So, happy scholarship hunting!

31.8.09

Sang Konduktor

Bukan... Bukan konduktor yang mimpin orkestra atau semacamnya, apalagi konduktor yang jadi petugas kereta api, soalnya itu kondektur, tapi konduktor yang dulu sempet diajarin waktu fisika.
Benda yang dapat (dengan mudah) dialiri listrik
Itulah penjelasan singkatnya, penjelasan panjangnya silakan tanya si mbah, bukan mbah S, tapi mbah G :)

Jadi, apa maksud dari judul tersebut diatas? Intinya, saya bercerita tentang diri sendiri, sebagai konduktor, dan ini sebenernya bukan hal yang aneh, karena tubuh manusia memang konduktor listrik (silakan cari referensi sendiri, karena saya disini bukan mau menjelaskan hal tersebut), tapi menurut saya, kekonduktoran saya sudah pada tahap tidak aman, atau bisa dibilang agak mencemaskan. At least, mencemaskan diri saya sendiri.

Pernah gak sengaja pegang kabel (yang bungkusnya kebuka) dan tersetrum oleh kabel tersebut? Kalopun pernah, itu wajar, dan sangat wajar, karena memang benda itu berlistrik. Hal yang saya alami jauh lebih aneh daripada hal itu. Saya (sering sekali) tersetrum oleh suatu benda yang tidak mengalirkan listrik, setidaknya menurut saya sendiri, karena saya tidak tahu, mungkin saja jangan-jangan di benda itu ada listriknya. Tersetrum cinta, jelas tidak masuk di dalamnya :P

Contoh nyata, bagi yang sering shalat Jum'at di Salman, dan mengambil posisi duduk di GSG, maka umumnya akan wudhu di GSG (di lantai 2 itu loh), dan saya pernah tersetrum sewaktu menutup kerannya setelah selesai berwudhu!! Aneh bukan? Oke, pada awalnya, saya pikir, ini fenomena yang sangat biasa, mungkin saja ada listrik entah dimana, dan lagipula, ruang wudhu kan dipenuhi dengan air yang berpotensi mengalirkan listrik kemana-mana... Mengalirkan listrik kemana-mana... Enak toh? Mantab toh? cut

Yang paling mutakhir, dan paling aneh adalah pegangan yang suka ada di mall-mall, tau kan pegangan yang seperti itu? Saya tidak tau itu terbuat dari apa, entah besi, alumunium, atau apa lah... Tidak begitu penting, yang jelas pegangan yang sebenernya bertujuan memastikan seseorang tidak terjatuh dari satu lantai ke lantai di bawahnya. Dan sering dijadikan tempat pegangan orang-orang yang, misalnya, kelelahan, atau sekedar nongkrong, atau ngeliatin orang di bawah (mungkin lagi ada acara di bawah dan terlalu ramai, jadi nontonnya dari lantai atas), atau semacamnya. Dan saya, beberapa kali tersetrum oleh benda itu!! At least, itu yang terjadi beberapa kali selama beberapa hari ke belakang ini, sewaktu saya sedang rajin-rajinnya jalan-jalan ke BEC...

Jadi kenapa ya bisa gitu? Kayanya sebelumnya gak kenapa-kenapa. Jadi agak-agak khawatir juga nih... Semoga tidak ada apa-apa atau hanya gejala sesaat... Amiiiin :)

16.8.09

Nulis lagi...

Alhamdulillah, blog ini telah vakum selama 3 bulan lebih... Kenapa mesti disyukuri? Ya soalnya ada temen yang bilang, segala sesuatu harus disyukuri, termasuk vakumnya blog ini selama 3 bulan lebih, meski saya sendiri tidak tahu hal yang perlu disyukuri, yah anggep aja saya bersyukur karena walau blog ini 3 bulan tak berisi, tetep eksis (eksis = ada kan artinya? bukan eksis = tenar loh).

Akhir-akhir ini, keinginan menulis (di blog) menurun drastis, entah karena beberapa kesibukan yang sempat dimiliki (seperti les, proyekan, nonton rutin) atau karena hal lain, tapi satu hal yang pasti, ada perubahan cara pandang saya terhadap keinginan menulis. Dulu, waktu awal-awal saya menulis di blog, saya menulis karena saya ingin menulis, sedangkan sekarang saya menulis karena saya ingin menulis sesuatu yang ber'bobot'. Kadang-kadang, saya sudah menulis satu dua hal, akan tetapi saya tidak mem-publish-nya karena saya merasa tulisan saya terlalu 'ringan'. Kemudian, akhir-akhir ini saya mulai berpikir lagi, tidak usah terlalu memikirkan pendapat orang lain tentang tulisan saya (selama tulisannya tidak menyinggung orang), yang penting adalah saya menulis karena saya ingin menulis, itu saja.

Hal ini semakin terasakan ketika saya membaca tulisan bung Ahmy yang satu ini, yang terasa ngena banget, meski disana lebih ditekankan pada membaca dan bukan menulis. Akan tetapi, ada lah sebagian diantaranya yang menyinggung tentang menulis, dan menyinggung disini tidak dilarang, karena tidak menyinggung orang, tapi menyinggung tentang menulis (oke, abaikan kalimat terakhir ini, karena sangat tidak penting).

[GANTI TOPIK] Tadi saya baru resepsi nikahan seorang teman, dan dari pernikahan tersebut, serta pernikahan-pernikahan lainnya yang sudah saya kunjungi (tentunya, saya belum menikah gitu), saya memperhatikan bahwa ada orang-orang yang datang ke nikahan hanya karena gak-enak-udah-diundang-pake-dikirim-surat-undangan-segala-ke-rumah, ada juga yang memang benar-benar ingin mempererat tali silaturahmi. Saya sendiri (semoga) termasuk orang tipe ke-2, dan itu sebabnya saya suka agak berlama-lama di nikahan seseorang, apalagi jika banyak kerabat atau sanak saudara di nikahan tersebut, rasanya enak aja di nikahan seseorang, kemudian ngobrol lama-lama ama orang-orang yang dikenal, apalagi orang-orang yang lama dah tidak ditemui. Karena emang gitu juga sih sifat saya, suka ngobrol :D

Dan lagi kepikiran, sejak kapan ya ada resepsi pernikahan? Okey, that's not so important sih kayanya, karena memang tujuan resepsi itu, selain untuk mengikat tali silaturahmi itu, juga untuk 'mengumumkan' kepada dunia tentang hubungan kedua orang yang menikah tersebut (sebagai suami istri, tentunya). Dan, saya juga kepikiran satu tujuan datang ke resepsi yang lain, sama seperti kematian, manfaat dari melayat adalah untuk mengingatkan pelayat bahwa setiap orang pasti akan meninggal, manfaat datang ke resepsi pernikahan juga mengingatkan pengunjung bahwa suatu saat kita akan menikah (iya gitu?)... Hahahaha... :)

6.4.09

kehancuran dunia IT...

Sudah menjadi kebiasaan umum di kalangan anak IF angkatan saya, atau tepatnya, di kalangan anak IF04 yang cukup sering bergaul dengan saya, untuk berkhayal memikirkan sesuatu yang tampak agak mustahil untuk dilakukan di dunia nyata, atau tampak sangat tidak masuk akal. Hanya saja, terkadang saya sedikit gemas kalo ada orang-orang "normal" di kalangan kami yang sering menyetop pembicaraan ngalor ngidul gak karuan yang sering dilakukan... Contohnya adalah Olip, Sapla, Vania dan masih cukup banyak orang "normal" yang sering membuat perkembangan pembicaraan bodoh terhenti, hanya saja mungkin dari cara-cara berpikir orang-orang "normal" tersebut justru sebaliknya, mereka gemas mendengarkan pembicaraan-pembicaraan gak guna, pointless, dan terkadang super-duper berlebihan (biasanya cuma berlebihan doang).

Meski demikian, beberapa dari pembicaraan tersebut sampai ke titik ujungnya, yaitu kepuasan semua pembicara di pembicaraan bodoh tersebut... Seperti misalnya, waktu itu saat saya sedang makan bareng Simon, Sapla dan beberapa orang lainnya, dan kami melihat baligo "Beasiswa Ajinomoto" (maap sebut merek) yang notabene dari sebuah produk mecin, yang membuat bodoh bangsa, maka mulailah ide bodoh terkuak dari otak-otak (banyak otak, bukan makanan, red) kami ini... Misalnya, persyaratan mendapat beasiswa tersebut, seperti harus cukup bodoh (ini produk MECIN loh!), ato ada proses karantina selama satu bulan, dan selama karantina hanya akan mendapat makanan-makanan pembodoh (nasi mecin, mie instan, produk-produk makanan kecil yang banyak mengandung mecin, de el el), kemudian dilakukan test IQ sebelum dan sesudah masa karantina, mereka yang mengalami penurunan paling signifikanlah yang mendapat beasiswa tersebut :P

Di lain waktu, saya, Upik, Reyhan, dan Ibi (dalam kelompok 7.5, waktu pelantikan 2006 IF) pernah juga mengkhayal yang lebih gila... Dimulai dari ketakjuban Upik melihat segala sesuatunya sekarang udah ada versi colokan USB-nya, seperti pemanas kopi, sampai pada akhirnya khayalan gila bahwa suatu saat mungkin saja bahkan untuk men-charge laptop digunakan kabel yang ujungnya colokan USB yang dipasang di laptop itu sendiri... Ide gila yang ini emang harus diakui, terlalu berlebihan dan agak kurang realistis... :P

Tapi, tidak selamanya ide gila ini terlalu mengawang-awang, beberapa waktu yang lalu, rekan saya Simon menyebutkan salah satu ide gila kami, yaitu wireless charger, sudah terealisasi di MIT sana. Dari sana, jelaslah saya terkagum-kagum, dan merasa sedikit kecewa untuk tidak mendokumentasikan semua ide-ide dan pemikiran-pemikiran gila yang pernah terlintas, terbersit, dan terutarakan dalam forum-forum tak resmi di kalangan IF04 ini. Siapa tau salah satunya bisa benar-benar kami realisasikan, dan mungkin akan lebih banyak lagi jika tidak ada orang-orang "normal" yang sering menyetop obrolan-obrolan seperti itu :D

Akibat "kebencian" saya terhadap rekan-rekan yang "normal", kadang-kadang saya sudah mulai membiasakan diri untuk berbicara hal-hal diluar kewajaran hanya kepada orang-orang yang terlihat bisa menerima atau bahkan melanjutkan percakapan menjadi lebih dari yang diperkirakan. Salah satunya, adalah orang yang saya ajak obrol tentang perusahaan penerima kerja (baca ini), suatu kali yang lain, di tempat yang sama, kami pernah membicarakan rekan kami yang lain, yang kemampuannya memrogram amat sangat luar biasa (untuk level anak IF04), untuk membuat program untuk menghasilkan program. Sangat mengerikan pastinya, pengguna tinggal memasukkan spesifikasi input dan output kepada sang program (dalam bentuk yang sudah ditentukan, misalnya), kemudian si program akan menghasilkan program yang memenuhi spesifikasi tersebut. Yang terpikirkan pertama oleh rekan saya adalah, membayangkan kehancuran dunia IT di masa mendatang... Hwehehehe...

Akhirul kata, seperti yang pernah dikatakan oleh bung Kriuk kepada saya, "Dreams are free". So, I'll keep on dreaming :D

18.3.09

Cerita di angkot (saingan "carita de angel")

Dibalik segala kebencian (baca: naicnebek alages) saya terhadap angkot, tepatnya terhadap supir angkotnya, ternyata angkot menyimpan sejuta cerita... Halah, berlebihan sih, gak nyampe sejuta cerita sebenernya, palingan sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus delapan puluh tiga, atau biasa disingkat dengan 999.983, meskipun sebenernya itu bukan singkatan sih, tapi gak papa lah, mama aja...

Satu hal yang saya sukai dari naik angkot adalah asap rokok yang ada dimana-mana, jadi terasa suasana maskulin dari angkot mendengarkan perbincangan orang lain, terutama ketika perbincangan itu dilakukan cukup keras, jadi saya gak perlu curi-curi dengar... Hehehe... Terkadang dari hal seperti itu, saya jadi tahu bagaimana pendapat orang-orang terhadap kehidupan sehari-hari, terutama orang-orang dari kalangan bawah (secara ekonomi mungkin ya), yang terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita dengarkan dari kehidupan ideal

Sebagai contoh, pada satu hari, saya mendengarkan perbincangan dua orang mengenai menabung di bank... Bagi teman-teman yang mengikuti kelas "Kewirausahaan dan Pengembangan Bisnis" bersama Pak Djoko (apa Joko ya? yang jelas bukan Pak Djoko rektor) pasti sering terdoktrin dengan kata-kata "menabunglah, menabung bukan hanya untuk orang kaya, tapi untuk semua golongan" Dengan kemampuan inferensi dari otak pribadi, saya menangkap bahwa kata menabung disana berarti menabung di bank... Tapi perbincangan dua orang di angkot ini menyadarkan saya, bahwa kita harus agak sedikit kaya supaya bisa menabung di bank... Lepas dari permasalahan riba, dalam sistem perbankan, setiap bulan pada umumnya seorang penabung biasanya mendapatkan tambahan uang (dari bagi hasil atau bunga) serta mendapatkan pengurangan uang (dari biaya administrasi) dan pada umumnya bagi hasil atau bunga yang diperoleh seseorang tergantung pada besarnya tabungan yang ia miliki...

Andai kita senaif itu untuk mengikuti saran Pak Djoko dan hanya memiliki uang tabungan (katakanlah) dibawah seratus ribu rupiah, niscaya kita akan merugi sendiri, karena besarnya administrasi per bulan akan jauh melebihi besar bagi hasil atau bunga yang kita peroleh... Jadi buat apa menabung kalo jumlahnya makin lama makin sedikit??

Kita sering pula mendengar bahwa politik uang, bayar-bayar orang supaya mendukung/memilih suatu calon dalam pemilu itu dilarang... Tapi bagaimana dengan rakyat kecil? Seorang supir angkot, bersama rekannya, mengobrol tentang kekecewaan mereka terhadap Partai Gerin*** yang "hanya" membagi-bagikan kaos untuk suatu acara mereka... Yang paling saya ingat, jelas perkataan si supir... "ah, rugi buang-buang waktu 3 jam cuma dengerin pidato ama musik, kirain bakal dikasi duit lima puluh ribu gitu.. Iklannya banyak gitu, masa bagi-bagi duit aja gabisa"... Ternyata politik uang juga bagian dari "kebutuhan" rakyat kecil loh... Dan ini satu lagi bukti bahwa pemikiran ideal ternyata kadang (ato seringkali) tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan (meski si supir angkot lagi di angkot, angkotnya lagi di jalan raya, bukan di lapangan)

Itu aja dulu deh... Ya ampun tulisan saya serius banget... Gara-gara jadi aspri gini deh obrolan sehari2 :P