19.4.24

Cara Melakukan Pencairan Saldo JHT - BPJS Ketenagakerjaan

Wow, sudah 10 tahun sejak terakhir saya menulis di blog ini. Saya mencoba menghidupkan lagi deh. Berhubung ini tulisan pertama setelah 10 tahun, saya coba tulis hal yang ringan dan singkat dulu.

Ok, jadi saya baru-baru ini mengundurkan dari perusahaan saya terakhir. Dan untuk kali ini saya nggak ngoyo untuk segera dapat pekerjaan baru lagi, karena sebenarnya secara finansial, saya sudah mencapai fase financial freedom, alias penghasilan pasif sudah mencukupi kebutuhan hidup saya.

Nah, berhubung fase "berhenti kerja" kali ini cukup lama, saya memutuskan untuk mencairkan uang saldo saya di JHT (Jaminan Hari Tua) - BPJS Ketenagakerjaan, lumayan jumlahnya hampir 7 kali gaji terakhir saya.

Ternyata langkah-langkahnya cukup mudah:

  1. Kunjungi https://lapakasik.bpjsketenagakerjaan.go.id/
  2. Mengisi data yang dibutuhkan (pastikan bahwa sudah resign > 1 bulan, alias status BPJSTK-nya sudah tidak aktif)
  3. Menunggu sampai waktu wawancara
  4. Melakukan wawancara (via whatsapp)
  5. Menerima kabar bahwa proses pencairan valid dan tinggal menunggu transfer
Waktu yang dibutuhkan berapa lama? Ini pasti tidak bisa persis sama ya, tapi utk kasus saya seperti ini:
  • Pengisian formulir lapakasik
  • Jadwal wawancara - 15 hari setelah tahap di atas
  • Wawancara - di hari yg sama seperti tahap di atas, hanya jamnya cukup meleset (dijanjikan jam 1 siang, ternyata baru ditelpon jam 4 sore)
    • Akan diminta foto semua paklaring dan video call selama 10-20 detik saja
  • Uang masuk ke rekening - 3 hari setelah tahap di atas
Beberapa catatan yang penting:
  1. Paling pertama dan utama, pastikan kamu menyimpan SEMUA paklaring dari semua perusahaan tempat kamu bekerja. Paklaring adalah surat keterangan bahwa kamu pernah bekerja di perusahaan tersebut yang setidaknya harus mencakup data berikut ini: Nama lengkap, Posisi, Waktu Bekerja.
  2. Sebelum call via whatsapp, si pewawancara akan mengirimkan WA konfirmasi (sekitar 10 menit sebelumnya), pastikan bahwa di hari wawancara kamu cukup aktif mengecek WA ya.
That's all, semoga diperlancar prosesnya!

2.3.14

Remote Working, How?

Udah hampir setahun nggak nge-blog... Terakhir nge-blog saya baru gabung dengan perusahaan startup-nya temen-temen angkatan saya sendiri, who are Zaky, Fajrin, dan Nugroho. Setahun di sini, banyak hal yang saya pelajari, banyak hal yang harus saya akui saya tertinggal.

Belum terlalu lama yang lalu, saya membaca buku berjudul Remote. Pengarangnya adalah pendiri Basecamp yang mungkin sudah sangat terkenal. Selain buku itu, ia juga mengarang buku lainnya berjudul Rework, kedua buku itu sangat bagus dan sangat saya rekomendasikan untuk dibaca.

Oke, kembali ke buku Remote ini. Poin-poin yang menarik dari buku tersebut yang saya garisbawahi adalah:

  • Konsep remote yang pernah saya pahami itu salah besar. Remote tidak berarti harus bekerja dari rumah, remote bisa juga dilakukan di kafe, di taman, di perpustakaan atau di manapun yang kita mau. Satu hal yang pasti, bedakan suasana saat sedang kerja remote dengan saat bersantai di rumah. Jangan pernah kerja remote di kasur, di depan TV, ataupun di dapur. Bahkan bukan tidak mungkin remote dilakukan di rumah, tapi dengan menggunakan pakaian yang rapi, jas, dan bersepatu.
  • Permasalahan utama pekerja remote bukanlah underwork, tapi justru overwork. Ini yang selama ini sering ditakutkan manajer atau bos di perusahaan. Mereka tidak percaya pada karyawan atau bawahannya. Lucunya, kalau dari awal tidak percaya, kenapa mereka harus direkrut?
  • Kerja remote justru memperlihatkan siapa yang kerja dengan benar dan siapa yang tidak. Kerja di kantor (on-site) justru bisa dibilang lebih "aman". Datang tepat waktu, pulang tepat waktu, berlaku baik bagi sesama, bersosialisasi sewajarnya, maka bisa dibilang posisi kita cukup aman. Kerja remote benar-benar mengubah konsep kerja seperti itu. Orang yang kerja bagus dan tidak akan lebih mudah terlihat dengan kerja remote itu.
  • Kerja remote harus diberikan kepada seluruh karyawan (yang mungkin melakukan kerja remote). Jangan hanya berikan privilege tersebut kepada, katakanlah, karyawan senior, manajer, atau orang-orang tertentu. Karena sikap setengah-setengah seperti ini justru merupakan blunder yang luar biasa.
So, untuk para pemilik perusahaan di luar sana, beranikah Anda memperkerjakan karyawan Anda secare remote (full-time)?

29.3.13

Membudayakan kebaikan

Sering saat kita mendengar istilah luar negeri, terutama negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Jerman, Prancis, Belanda, atau bahkan Singapura, yang pertama terlintas dalam benak adalah kemajuan teknologi, kemajuan gaya hidup, segalanya serba otomatis, peran manusia dikurangi menjadi sesedikit mungkin, dan lain sebagainya. 

Saya tidak menyalahkan pendapat tersebut, karena mungkin sebagian besar pendapat tersebut benar, hanya saja menurut saya ada satu hal yang lebih perlu dicermati, dan dilaksanakan, untuk menjadi negara yang maju atau setidaknya menjadi negara yang mau maju, yaitu kebiasaan untuk berbuat baik. Ini saya rasakan sendiri dan saya jadi bingung sendiri, bukannya katanya budaya ramah itu budayanya orang timur dan sebaliknya, orang barat dikenal dengan individualismenya? 

Ada beberapa hal yang menurut saya pantas untuk dicermati: 

Mengucapkan terima kasih
Sesuatu yang mudah, tapi akan terasa sangat menyejukkan bagi yang menerimanya. Mulai dari hal-hal kecil, misalnya petugas kereta api setelah memeriksa tiket mengucapkan terima kasih, orang dikasih lewat jalan duluan juga mengucapkan terima kasih, atau bahkan orang diberikan pesanan makanan juga mengucapkan terima kasih ke pelayannya, meskipun itu memang tugas si pelayannya. Betapa indahnya jika kita membiasakan mengucapkan terima kasih ke orang lain.

Menahankan pintu otomatis
Pintu otomatis yang saya maksud adalah pintu-pintu yang setelah terbuka langsung otomatis tertutup lagi, seperti pintu yang menggunakan per/pegas ataupun pintu lift. Untuk yang kedua mungkin si orang yang mau masuk lift bisa menekan tombol duluan supaya pintunya tidak tertutup, pun kalau tertutup efeknya tidak terlalu buruk. Tapi untuk pintu yang setelah dibuka langsung "memantul" menutup kembali, sungguh cukup mengganggu orang berikutnya yang melewati, karena bebannya lebih berat (apalagi jika dia melewati pintu melawan arah pantulan si pintu), alangkah enaknya jika sang pintu sudah ditahankan orang yang lebih dulu lewat, dan pasti lebih indah jika disambung dengan hal yang saya tulis pertama, orang yang ditahankan langsung mengucapkan terima kasih. Indahnya dunia :)

Berjalan di satu sisi atau membuka jalan
Pernah terburu-buru? Bayangkan betapa menjengkelkannya jika kita terburu-buru berjalan menuju bioskop, katakanlah, kemudian masuk mall, sudah ingin berlari saja karena filmnya hampir dimulai, tiba-tiba di depan kita ada 4 orang ngobrol dengan riangnya, ngakak-ngakak, berjalan sangat lambat, dan parahnya, menutup semua area jalan! Kasus yang sama jika kita naik eskalator, dua orang di depan kita berdiri berdampingan, padahal kita terburu-buru. Untuk kasus kedua, di beberapa negara bahkan sudah ada semacam peraturan tidak tertulis, jika naik eskalatornya santai, berdiri, di sisi kiri, jika ingin berjalan di sisi kanan. Kan enak tuh, gak ada yang jadi terlambat nonton bioskop lagi :) 

Ya itu aja sih yang saya ingin tuliskan di sini. Kebiasaan-kebiasaan baik itu juga menentukan seberapa majunya suatu negara, karena kebiasaan pribadi dapat membentuk kebiasaan golongan, kebiasaan golongan dapat membentuk kebiasaan masyarakat, dan kebiasaan masyarakat yang telah 'hidup' cukup lama dapat menjadi kebudayaan masyarakat tersebut. Jadi mari membudayakan kebaikan :)

25.11.12

Mushola di Mall Bandung (I)

Mushola, atau Mushala, atau Musola, atau Mushalla, yang manapun itu, yang jelas ia adalah tempat solat serupa mesjid dengan ukuran lebih mini. Tidak seperti mesjid, mushola umumnya tidak memiliki gedung tersendiri, itupun karena adanya kebutuhan pengunjung atau pegawai di gedung tempat mushola itu berada untuk menunaikan ibadah shalat.

Pada tulisan ini, saya akan membahas beberapa mushola yang terletak di mall-mall di kota Bandung yang pernah saya kunjungi (mushola-nya, bukan mall-nya), berikut penilaian pribadi dari saya, yaitu lokasi (termasuk kemudahan akses), ukuran (relatif terhadap keramaian tempat), kenyamanan, dan kebersihan. Urutan penulisan ini semata-mata alphabetic-based, bukan berdasarkan keinginan pribadi atau orang lain atau hasil bayaran (kaya bakal ada yang mau bayar aja untuk hal gini). Oke mari kita mulai…

Bandung Electronic Center (BEC)
Mushola BEC terletak di basement, di area tempat parkir. Untuk yang perempuan terletak 1 lantai di bawah lantai terdasar toko-toko di BEC, sedangkan untuk yang laki-laki terletak 2 lantai di bawahnya lagi.

  • Lokasi: 4.5, awalnya nilainya adalah 5.5, akan tetapi karena untuk mencapai tempat ini harus naik lift (yang hampir selalu penuh) atau jalan kaki (yang sungguh berbahaya karena bersama kendaraan), saya menurunkan nilainya.
  • Ukuran: Jika semua orang solat sendiri di dalamnya, tempat ini mampu menampung sekitar 20 orang, tapi untuk solat berjamaah, idealnya tempat ini hanya menampung sekitar 16 orang, dengan asumsi ukuran untuk mushola perempuan sama besarnya dan dengan tingginya animo masyarakat di BEC ini, saya beri nilai 4.5.
  • Kenyamanan: 3, PANAS, SUMPEK, BERISIK, dan kawan-kawannya. Berhubung ada toilet di dekatnya, saya naikkan nilainya, seharusnya 2.
  • Kebersihan: Sajadah yang jorok, lantai yang basah, dan area yang kotor (karena di dekatnya banyak mobil berseliweran), saya beri nilai 2.5 untuk lokasi wudhu dan solat yang terpisah.
  • Total: 3.5

Bandung Indah Plaza (BIP)
Mushola BIP dahulu terletak di area parkir juga, tapi sekarang sudah dipindahkan ke lantai teratas (lantai 3).

  • Lokasi: 9.5, letaknya yang di dalam gedung memudahkan untuk hampir semua orang mendatanginya, hanya saja karena ia terletak di lantai puncak (bukan di lantai tengah), saya harus memotong 0.5
  • Ukuran: 10, seberapapun banyak jamaah solat, saya yakin tidak akan ada sistem kloter akibat harus menunggu di mushola ini.
  • Kenyamanan: 9.5, suasana yang cukup sejuk walau hanya ditemani kipas angin. Sayangnya ada beberapa nilai minus, yang pertama, area wudhu yang kurang luas, terutama setelah satu studio bioskop selesai penayangannya, antrian dapat menjadi cukup panjang (10-15 orang). Yang kedua, tidak adanya toilet, membuat orang harus ke toilet lain dulu sebelum berwudhu. Nilai bonus lagi untuk adanya petugas mushola yang setia melayani kita setiap saat setiap waktu (berlebihan sih)
  • Kebersihan: 9.5. Hampir sempurna, kekurangan hanya terdapat di tempat wudhu dan di area lepas/pasang alas kaki.
  • Total: 9.8

Braga City Walk (BCW)
Baru kemarin saya ke BCW, jadi masih sangat segar di ingatan. Mushola perempuan terletak di B1, sedangkan mushola laki-laki terletak di B2. Keduanya terletak persis di depan lift.
  • Lokasi: 5.5. Saya tidak bisa memberi nilai lokasi tinggi untuk mushola yang berada di basement. Walau begitu, mushola ini cukup mudah dijangkau dengan lift ataupun menggunakan tangga darurat. Nilai minusnya, liftnya terkadang penuh (walau tidak seramai di BEC) dan tangga daruratnya agak kotor.
  • Ukuran: 8.2. Walau ukurannya kecil (menampung sekitar 20-25 orang per mushola), tetapi berhubung tidak terlalu banyak pengunjung di mall ini, saya berani memberi nilai ini.
  • Kenyamanan: 8. Selain tempatnya yang agak panas, tidak ada masalah sama sekali. Toilet tersedia dekat, tempat wudhu cukup luas.
  • Kebersihan: 8. Tidak ada masalah besar pada tempat solat ini, hanya saja bau-bauan asap rokok kadang tercium, berhubung tempatnya yang memang di area yang dibolehkan merokok
  • Total: 7.5

Karena tulisan ini sudah cukup panjang sepertinya, saya akan beri penilaian untuk mushola di Ciwalk, Gramedia, PVJ, dan TSM pada tulisan berikutnya :)

12.5.12

Toleransi

Benar... Toleransi, itulah kata-kata yang sering diajarkan pada kita sejak masih duduk di bangku SD. Bersama rekan-rekannya, seperti gotong-royong, berbakti kepada orang tua, tolong-menolong dalam kebaikan dan kesabaran (caelah), ataupun gemar menabung, kata ini selalu mencekoki pemikiran kita, yang sayangnya tampak kurang efektif.

Bukan, saya bukan hendak berbicara tentang kacaunya negara Indonesia akibat kekurangtoleransian rakyatnya, tapi saya akan berbicara hal lain, keluarga saya.

Sebagai keluarga yang berkepala keluarga anak pertama dan beribu rumah tangga anak pertama juga, tidaklah heran bahwa kakak tertua saya adalah anak pertama kami, yaitu saya dan saudara-saudara kandung saya, adalah cucu-cucu tertua di keluarga besar, terutama di keluarga dari ayah saya (di keluarga ibu, ada 2 orang sepupu yang lebih tua dari saya). Sebagai cucu-cucu tertua, kami harus memberi contoh yang baik kepada sepupu-sepupu kami dengan budi pekerti yang luhur. Salah satunya adalah sikap toleransi.

Rupa-rupanya, sikap tersebut ternyata sudah tumbuh dari rumah, dalam hal makan-dimakan. Setiap makanan tersaji, entah atas perintah siapa, seenak apapun makanannya, seingin apapun kami memakannya, maka biasanya pasti ada saja 1 atau 2 buah tersisa di piring. Sebagai contoh, ayam bakar, kita semua pasti suka ayam bakar, apalagi kalo pedes-pedes gitu, dinikmati dengan segelas jus jeruk, di bawah sinar matahari yang tidak terlalu menyengat, nyummy nyummy banget pasti. Oke, kembali ke ayam bakar itu, mau sebanyak apapun ayam bakar yang disajikan, pasti ada sisa 1 atau 2 potong yang tidak termakan (yang pada akhirnya akan dimakan juga, tapi beberapa hari setelah dibuat). Saya merasa, ini sikap toleransi yang luar biasa, mungkin dalam benak kami-kami ini "kasihan yang lain mungkin ingin, jadi gak saya makan deh", meski sebenernya adalah "ntar kalo ngabisin disuruh nyuci piringnya, males ah".

Bukan hanya dalam masalah makanan yang diambil, tapi juga makanan yang dimakan, entah kenapa tiap kali makan, pasti rata-rata menyisakan makanan yang enak di akhir, pemikiran bagusnya, "siapa tahu ada yang kepengen, kan saya bisa berbagi", tapi ya, you know lah yang benernya gimana.

Lebih jauh, orang yang rajin bersikap toleransi adalah orang yang toleran. Toleran ini sifat anak yang manis, anak manis jangan dicium, karena kalau dicium, pipinya akan memerah. Sekian.